Sehatki.com – JAKARTA – Susu ikan belakangan menjadi topik yang dimaksud sedang hangat diperbincangkan.
Hal ini lantaran susu ikan menjadi salah satu pilihan pada acara penyediaan makan siang gratis yang diusung Calon Presiden juga Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto lalu Gibran Rakabuming Raka. Bahkan sempat disebutkan juga bahwa susu ikan menjadi susu alternatif pengganti susu sapi.
Susu ikan merupakan item pengembangan anak bangsa yang pertama kali diperkenalkan oleh Kementerian Kelautan lalu Perikanan dengan Kementerian Koperasi lalu UKM. Lantas, benarkah susu ikan bisa jadi menjadi pengganti atau alternatif dari susu sapi?
Konsultan dan juga ahli gizi Dr. Rita Ramayulis menegaskan, sebenarnya susu ikan tidak ada dapat disamakan dengan susu sapi. Karena keduanya miliki komposisi dan juga bahkan gizi yang berbeda. Namun, ia tak menampik apabila susu ikan memang benar bisa saja dibuat menyerupai susu sapi dengan proses tertentu.
“Tentu nggak bisa saja digantikan ya. Karena keduanya dari komponen yang mana berbeda. Kandungan gizi yang dimaksud berbeda juga. Tapi kalau sudah ada diproses secara bidang itu ia bisa saja dibikin menyerupai susu sapi. Tentu belaka bisa,” ujar Dr. Rita ketika dihubungi MNC Portal, Rabu (11/9/2024).
Namun, Dr. Rita menilai, hal yang disebutkan seharusnya tak perlu dilakukan. Mengingat, apabila tujuan pemerintah untuk mencanangkan inisiatif makan bergizi, susu sebenarnya bukanlah prioritas alias satu-satunya. Pasalnya, definisi makanan bergizi yakni yang mana miliki gizi seimbang yang tersebut didapatkan dari ragam makanan, bukanlah cuma dari susu.
“Tapi kan harusnya tak perlu diusahakan menyerupai susu sapi. Karena pada makanan gizi seimbang, kan nggak mesti harus berorientasi pada susu. Kan makanannya yang bagus itu adalah gizi seimbang, dan juga kalau untuk anak-anak tidak ada boleh kurang protein kemudian kalsium,” tuturnya.
“Nah pemenuhan protein lalu kalsium itu kan sanggup didapatkan dari ragam makanan. Tidak hanya saja dari susu tok,” lanjut dia.
Dr. Rita justru menyarankan pemerintah agar pemberian susu yang dimaksud diselaraskan dengan edukasi terkait pentingnya mengonsumsi pangan lokal yang bersifat ‘real food’ alias bukan melalui proses pengolahan industri.
“Jadi ketika kemudian ada salah satu inisiatif yang digunakan mengharuskan pemberian susu, lalu susu tidak ada tercukupi misalnya, harusnya programnya bisa jadi diselaraskan dengan pangan lokal yang mana ada. Dengan pangan-pangan yang dimaksud real food begitu ya,” tegasnya.
“Jadi bukan mesti harus dipaksakan menimbulkan sesuatu yang tersebut menyerupai susu itu sendiri. Karena kalau disebutkan pengganti itu nggak tepat. Tapi kalau disebut sebagai oh ia salah satu minuman bergizi kok, untuk melengkapi makanan bergizi, itu boleh-boleh saja,” pungkas Dr. Rita.