Wanita ataupun anak-anak korban perkosaan dan pelecehan sesungguhnya menderita berkali-kali. Sebagai contoh adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh 7 pemuda terhadap penumpang Kereta Api di Tangerang dan juga kasus pelecehan seksual oleh seorang kakek yang tega memperkosa anak tirinya sendiri.
Dari berbagai kasus, korban umumnya tidak mendapatkan perawatan fisik maupun psikis setelah perkosaan yang mereka alami.
Hanya sedikit diantara mereka yang mendapatkan perawatan medis untuk mencegah kehamilan dan kemungkinan tertular penyakit menular seksual. Lebih sedikit lagi yang mendapatkan perawatan psikis dan trauma pasca kekerasan seks yang mereka derita.
Baru-baru ini Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) meminta pihak berwenang di Indonesia untuk lebih melindungi hak-hak korban pemerkosaan.
Koalisi tersebut mangatakan bahwa standar operasi dan prosedur yang dilakukan oleh pihak berwenang dalam menangani korban perkosaan tidak benar dan melanggar hak-hak korban.
Koalisi LSM yang sebagian besar merupakan ornop yang bekerja untuk melindungi hak wanita dan anak-anak mengatakan bahwa polisi tidak hanya gagal mengadili pemerkosa tapi juga sering melecehkan korban.
Koalisi tersebut dibentuk untuk menganggapi kontroversi yang terjadi setelah munculnya pernyataan dari Hakim Daming Sunusi pada pertemuan dengan DPR beberapa waktu lalu.
Pada saat itu, Hakim Daming mengatakan bahwa korban perkosaan juga menikmati pemerkosaan yang dialaminya. Ungkapan yang bermaksud bergurau tersebut tampaknya tidak diterima oleh banyak orang karena tidak mencerminkan rasa keadilan dan keberpihakan kepada korban.
Koalisi LSM tersebut menuntut agar hukuman bagi para pemerkosa ditingkatkan minimal 10 tahun penjara. Kelompok ini juga menyerukan pelibatan peneliti perempuan dalam menangani kasus perkosaan yang terjadi.
“Dari penelitian yang kami lakukan, kami menemukan bahwa korban perkosaan selalu menjadi objek yang terintimidasi selama proses penyelidikan oleh polisi. Beberapa dari korban misalnya diminta menunjukan bagaimana mereka diperkosa, beberapa dari penyidik bahkan menanyakan apa yang dirasakan korban setelah pemerkosaan terjadi,” ujar anggota Komisi Nasional perlindungan Anak, Muhammad Ihsan yang juga anggota DPR RI komisi III yang menangani masalah hukum dan hak asasi manusia.
Ihsan mengatakan bahwa pelecehan yang diterima oleh korban pemerkosaan bahkan lebih buruk dari pemerkosaan itu sendiri. Korban sering ditanya tentang posisi tubuh mereka saat diperkosa dan apakah pemerkosa menyuruh mereka menanggalkan pakaian. KPAI juga menemukan banyak kasus dimana pemerkosa dibebaskan karena korban tidak bisa menunjukkan saksi.
Ena Nurjanah dari Pusat Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Depok, Jawa Barat, mengatakan bahwa pelecehan terus berlanjut sampai ke pengadilan di mana hakim seringkali meremehkan tingkat keparahan kasus perkosaan.
“Beberapa kali saya mengikuti kasus perkosaan dimana hakim memesan pemerkosa untuk menikahi korban mereka untuk menyelesaikan kasus tersebut. Bagi mereka, pernikahan akan menyelesaikan kasus,” kata Ena menambahkan bahwa komentar pemerkosaan Daming adalah indikasi kebodohan pihak berwenang mengenai kejahatan seksual tersebut.
Daming menjadi sasaran kemarahan publik setelah ia membuat pernyataan yang menyiratkan bahwa dalam beberapa kasus pemerkosaan, hubungan seks bisa terjadi atas dasar suka sama suka.
Menanggapi pertanyaan parlemen selama tes fit and proper untuk posisi hakim Mahkamah Agung di DPR Komisi III awal pekan ini, Daming mengatakan bahwa ia tidak akan menjatuhkan hukuman mati untuk pemerkosa karena baik pemerkosa dan korban bisa menikmati hubungan intim tersebut.
Kasus pemerkosaan adalah kasus yang sangat sering terjadi di dunia. Selain Indonesia, kasus pemerkosaan di India juga sangat tinggi dan bahkan di negara Kongo, sebuah pemerkosaan massal dikoordinir oleh militer.
Ada banyak hal yang menjad pekerjaan utama bersama pihak terkait dalam menangani kasus perkosaan, yang dimulai dari usaha pencegahan, penanganan yang adil selama menjalani prosedur penyelidikan, hukuman berat bagi pelaku dan perawatan fisik dan psikis bagi korban perkosaan.